KEDIRI,DAMARPANULUHNUSANTARA.COM – Syech Ali Samsuzein adalah ulama dari Turki yang diperintahkan untuk datang ke Jawa Dwipa (Pulau Jawa), begitu menapakkan kaki di Pulau Jawa beliau sempat bermukim di wilayah Kabupaten Nganjuk tepatnya di wilayah Kecamatan Sawahan yakni di Gunung Wilis (Sadepok).

Peninggalan beliau hingga saat ini masih ada, dan seringkali dijadikan warga untuk lelaku. Menurut cerita Syech Ali Syamsuzein memiliki pengikut sekaligus murid yaki Ki Hajar Subroto, hingga pada tataran kemakrifatan.

Dakwah Syech Ali Syamsuzein tidak hanya pada tataran kemakrifatan saja. Namun dilanjutkan ke Wilayah Kediri, dakwah/ syi’ar beliau sampai kepada Prabu Joyoboyo. Melihat kebijaksanaan Sang Ulama, akhirnya Sri Aji Joyoboyopun menimba ilmu kemakrifatan.

Sehingga Syech Ali Syamsyzein memiliki dua murid dengan tataran kemakrifatan tapi dari sisi berbeda, Ki Hajar Subroto dari sisi keagamaan (bekas pertapa), sedang Prabu Joyoboyo dari sisi pemerintahan (Kerajaan). Sehingga keduanya dipesan dengan wasiat yang berbeda.

Ada dua sumber yang dapat digunakan untuk menelusuri siapa Sulaiman Al-Wasil Syamsudin atau Syekh Wasil alis Mbah Wasil


Syekh Wasil alias Mbah Wasil, sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ahli dimungkinkan adalah seorang ulama besar dari Persia (Ngerum) yang datang ke Kediri untuk membahas kitab musyarar atas undangan dari Raja Jayabaya.

Tokoh inilah yang kemudian berupaya menyebarkan dan mengembangkan agama Islam di Kediri. Sebagai seorang ulama besar atau tokoh penting yang berjasa mengembangkan Islam di Kediri maka wajar jika setelah meninggal beliau mendapat penghormatan yang tinggi dari masyarakat.

Kompleks bangunan makam Setono Gedong merupakan salah satu wujud penghormatan yang diberikan oleh masyarakat terhadap jasa beliau dalam mengembangkan agama Islam di Kediri.

Berkaitan dengan pendapat di atas, terdapat beberapa pemahaman dasar pertama kedatangan Maulana Ali Syamsuddin di Kediri pada masa pemerintahan Raja Jayabaya, yaitu pada abad XII M. Pada masa itu kebudayaan Hindu-Budha khususnya di Kediri sedang mencapai puncak kejayaan sehingga mustahil jika Islam sudah mendapatkan tempat, baik secara kultural maupun secara politis di masyarakat Kediri pada waktu itu.

Namun ini terbantah bahwa Kerajaan adalah sentral kebudayaan apapun sumbernya. Baik agama yang terlanjur sudah berkembang maupun update keilmuan serta pemahaman baru. Kedua, kemiripan nama antara Maulana Ali Syamsuddin dengan Sulaiman Al-Wasil Syamsudin belum dapat digunakan sebagai bukti bahwa dua nama itu mengarah pada satu orang yang sekarang makamnya ada di kompleks bangunan makam Setono Gedong jika tidak didukung oleh data-data atau bukti yang valid. Oleh sebab itu perlu sebuah pembahasan lebih lanjut berdasar variabel pendukung.

Ketiga, berdasarkan pada bukti-bukti arkeologis, khususnya berdasarkan hasil komparasi terhadap arsitektur dan ornamentasi maka lebih tepat jika kompleks makam Setono Gedong dibangun sekitar abad XVI M. Oleh karena itu penelusuran sejarah Syekh Wasil atau Mbah Wasil sebaiknya mengarah pada tokoh-tokoh penyebar agama Islam di Kediri pada masa itu.

Keempat ekspedisi Cheng Ho yang datang mengunjungi Majapahit, Demak, Pekalongan, Cirebon dan Sunda Kelapa (Jayakarta/Jakarta) oleh sekretaris Ma Huan di dalam “Yang Yai Seng Lan” melaporkan tentang keadaan alam dan penduduk dari kota-kota yang disinggahi.

Ia menyebutkan bahwa di pelabuhan Jawa (Gresik dan Tuban) ada tiga macam penduduk yaitu orang muslim dari barat (Maghribi), orang Cina (beberapa di antaranya beragama Islam) dan orang Jawa (penduduk asli yang masih belum beragama Islam). Untuk menunjukkan bahwa Islam sudah masuk dan sudah dipeluk oleh kalangan keraton Majapahit, ia menulis adanya orang-orang Jawa yang beragama Islam di istana raja sejak kira-kira 50 tahun sebelum masa itu.

Jika pendapat itu benar, lalu siapakah Syekh Wasil atau Mbah Wasil itu? Syekh Wasil atau Mbah Wasil adalah tokoh penyebar agama Islam di Kediri yang hidup sejaman dengan para Wali Songo. Tokoh ini dimungkinkan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan seorang wali, yaitu Sunan Drajat yang merupakan putra kedua dari Sunan Ampel.

Pendapat ini didasari oleh dua indikasi, pertama adanya kesamaan arsitektur bangunan dan ornamentasi yang terdapat di kompleks bangunan makam Setono Gedong dengan kompleks bangunan makam Sunan Drajad di Lamongan. Kedua, Istri Sunan Drajat adalah Retno Ayu Condro Sekar, seorang Putri Adipati Kediri yang bernama Suryo Adilogo.

Namun demikian untuk dapat memastikan apakah Syekh Wasil atau Mbah Wasil itu adalah Adipati Suryo Adilogo, mertua dari Sunan Drajat, memang masih memerlukan kajian secara intensif dan sistematis(Berbagai Sumber)
(har/rianto)

0 Comments:

Post a Comment