Walikota Dan Wakil Walikota Kediri Abdullah Abu Bakar Dan Lilik Muhibbah Resmi Di Lantik

April 29, 2019 DPN 0 Comments


0 Comments:

Wayang Kulit Rudi Gareng Lakon Dewa Ruci Dan Jo Klitik Jo Klutuk Meriahkan HUT YM Mak Co Klenteng Di Kediri

April 27, 2019 DPN 0 Comments



KEDIRI- JATIM, DAMARPANULUHNUSANTARA.COM -  Klenteng Tjoe Hwie Kiong Kota Kediri kemarin malam mengadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk dalam rangka HUT YM Mak Co Tian Siang Sing Bo ke-1059, sekaligus merayakan HUT Klenteng Tjoe Hwie Kiong. Sabtu (27/4/2019)

Pagelaran wayang kulit tersebut dengan lakon “Dewa Ruci” oleh dalang kondang Rudi Gareng, yang diadakan dipelataran Klenteng Tjoe Hwie Kiong. Turut hadir pula bintang tamu kondang Duo Jo Klituk dan Jo Klutuk, dan Lusi Rahman, dihadiri ratusan penonton warga Kediri dari berbagai daerah.

“Pertunjukan wayang ini kita adakan dalam rangka memperingati HUT YM Mak Co Tian Siang Sing Bo ke-1059. Mak Co Tian Siang Sing Bo lahir pada tahun 960, kalau ditarik ke tahun 2019, ketemunya 1059. HUT YM Mak Co Tian Siang Sing Bo kita adakan bersamaan dengan HUT klenteng, jadi satu acara dua tujuan,” tutur Prajitno selaku pengurus Klenteng.

Tema yang diangkat pada peringatan HUT YM Mak Co Tian Siang Sing Bo kali ini adalah “Menjalin Persatuan dan Kesatuan”, dan seni wayang kulit sengaja dipilih sebagai upaya pelestarian budaya bangsa, sekaligus menyatukan antara budaya dengan kehidupan sosial masyarakat.

“Kita mengambil tema menjalin persatuan dan kesatuan. Ini kita ambil sebagai dasar kehidupan bermasyarakat di Kediri yang beraneka ragam, budaya, suku, agama. Kita mengadakan ini (wayang kulit) untuk melestarikan budaya, untuk menyatukan budaya dengan keanekaragaman masyarakat kita,” jelas Prajitno.

Inti sari lakon Dewa Ruci, dijelaskan Rudi Gareng, menceritakan perjalanan Bima mencari Tirta Pawitra atau Tirta Perwita Sari, guna mencapai kasampurnaning agesang  atau kesempurnaan hidup.

Cerita berawal dari tindakan Guru Drona atas bisikan Kurawa untuk melenyapkan Bima, dengan memberi mandat mencari Tirtha Pawitra. Pencarian Tirta Pawitra ini dilakukan sebagai sarana membuka kesejatian dan kebenaran kehidupan di hutan Tibrasara di Gunung Candramuka.

Menurutnya, Dewa Ruci adalah gambaran bagi manusia agar mempunyai rasa bakti, patuh dan setia kepada semua guru. Seorang yang tidak berbakti, patuh dan setia kepada guru tidak akan bersinar di masyarakat.

Diakhir cerita, Bima melihat sinar kesucian yang belum pernah dilihatnya di dunia fana, dan saat itu juga Bima mendapatkan wejangan-wejangan dari Dewa Ruci tentang ngelmu kasunyatan di mana manusia harus bisa menjalani mati sajroning urip  dan urip sajroning mati.


“Ngelmu iku kelakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangekesedur angkara. Dengan landasan eling percaya minuhu, manusia akan dapat melakukan memaju hayuning bawana,” kata Rudi Gareng.

Dijelaskan Halim, salah satu pengurus sekaligus operator seni barongsai dan liang liong Tjoe Hwie Kiong, lakon Dewa Ruci tersebut berisi nilai-nilai yang sangat dekat dengan ajaran filosofi. Nilai-nilai edukatif yang terdapat didalamya diambilkan dari tokoh-tokohnya.

“Perbuatan yang dilakukan oleh tokoh wayang sangat baik untuk dijadikan teladan, panutan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai edukatif dengan sendirinya merupakan akumulasi cipta, rasa, karsa yang diimplemetasikan dalam sikap, tingkah laku kita,” pungkasnya.

Kegiatan tanggal 27 April atau nanti malam bakal digelar panggung gembira, dan hari minggu 28 April mendatang diadakan jalan sehat, berlokasi di Klenteng Tjoe Hwie Kiong Kediri.(dpn)

0 Comments:

Prasasti Anjukladang Candi Lor Cikal Bakal Kabupaten Nganjuk Dibangun Seorang Mpu Sindok 937 Masehi

April 27, 2019 DPN 0 Comments




NGANJUK - JATIM, DAMARPANULUHNUSANTARA.COM - Prasasti Anjuk Ladang adalah piagam batu berangka tahun 859 Saka (versi L.-C. Damais, 937 M) atau 857 Saka ((versi Brandes, 935 M) yang dikeluarkan oleh Raja Sri Isyana (Pu Sindok) dari Kerajaan Medang setelah pindah ke bagian timur Pulau Jawa. Prasasti ini juga disebut Prasasti Candi Lor karena ditemukan pada reruntuhan Candi Lor, di Desa Candirejo, Loceret, Nganjuk, beberapa kilometer di tenggara kota Nganjuk.

Penamaan "Anjukladang" mengacu pada nama tempat yang disebutkan dalam prasasti ini dan kemudian dikaitkan dengan asal mula nama Nganjuk sekarang dan prasasti ini menyebut pertama kali toponim tersebut.


Beberapa bagian prasasti ini telah aus sehingga tidak dapat terbaca seluruhnya, terutama pada bagian atas prasasti. Dari beberapa tulisan yang tidak mengalami aus didapatkan keterangan bahwa "Raja Mpu Sindok telah memerintahkan agar tanah sawah kakatikan (?) di Anjukladang dijadikan sima dan dipersembahkan kepada bathara di sang hyang prasada kabhaktyan di Sri Jayamerta, dharma dari Samgat Anjukladang".

Menurut J.G. de Casparis, penduduk Desa Anjukladang mendapat anugerah raja dikarenakan telah berjasa membantu pasukan raja di bawah pimpinan Mpu Sindok untuk menghalau serangan tentara Malayu (Sumatra) ke Mataram Kuno yang pada saat itu telah bergerak sampai dekat Nganjuk. Atas jasanya yang besar, maka Pu Sindok kemudian diangkat menjadi raja.



Selain itu, prasasti ini juga berisi tentang adanya sebuah bangunan suci. Dalam makalahnya yang berjudul Some Notes on Transfer of Capitals in Ancient Sri Lanka and Southeast Asia, de Casparis mengatakan bahwa dalam prasasti itu disebutkan bahwa Raja Mpu Sindok mendirikan tugu kemenangan (jayastambha) setelah berhasil menahan serangan raja Malayu, dan pada tahun 937 M, tugu tersebut digantikan oleh sebuah candi. Kemungkinan besar bangunan suci yang disebutkan dalam prasasti ini adalah bangunan Candi Lor yang terbuat dari bata yang terletak di Desa Candirejo Kecamatan Loceret


Sebagian tulisan pada Prasasti Anjuk Ladang
Kutipan isi prasasti Anjuk Ladang yang menyebutkan hal itu: A. 14 – 15: '… parnnaha nikanaÅ‹ lmah uÅ‹wana saÅ‹ hyaÅ‹ prasada atêhêra jaya[sta]mbha wiwit matêwêkniraÅ‹lahakan satru[nira] [haj]ja[n] ri [ma]layu (= di tempat ini [yang telah terpilih] agar menjadi tempat didirikannya bangunan suci, sebagai pengganti tugu kemenangan, [di sanalah] pertamakali menandai saat ia [raja] mengalahkan musuhnya raja dari Malayu).

Prasasti ini sekarang menjadi koleksi Museum Nasional di Jakarta dengan Nomor Inventaris D.59. (har/rianto)

Artikel Berbagai sumber

0 Comments:

Sang Penguasa Ghaib Tanah Jawa dalam Serat Sabdo Palon

April 19, 2019 DPN 1 Comments


Legenda tanah Jawa

1. Pada sira ngelingana Carita ing nguni-nguni Kang kocap ing serat Babad Babad nagari Mojopahit Nalika duking nguni Sang-a Brawijaya Prabu Pan samya pepanggihan Kaliyan Njeng Sunan Kali Sabda Palon Naya Genggong rencangira.

Ingatlah kalian semua, Akan cerita masa lalu, Yang tercantum didalam Babad ( Sejarah ) Babad Negara Majapahit, Ketika itu, Sang Prabhu Brawijaya, Tengah bertemu, Dengan Kangjeng Sunan Kalijaga, Ditemani oleh Sabdo Palon dan Naya Genggong.

2. Sang-a Prabu Brawijaya Sabdanira arum manis Nuntun dhateng punakawan Sabda Palon paran karsi Jenengsun sapuniki Wus ngrasuk agama Rasul Heh ta kakang manira Meluwa agama suci Luwih becik iki agama kang mulya.

Sang Prabhu Brawijaya, Bersabda dengan lemah lembut, Mengharapkan kepada kedua punakawan( pengiring dekat )-nya, Tapi Sabdo Palon tetap menolak, Diriku ini sekarang, Sudah memeluk Agama Rasul (Islam), Wahai kalian kakang berdua, Ikutlah memeluk agama suci, Lebih baik karena ini agama yang mulia.


3. Sabda palon matur sugal Yen kawula boten arsi Ngrasuka agama Islam Wit kula puniki yekti Ratuning Dang Hyang Jawi Momong marang anak putu Sagung kang para Nata Kang jumeneng ing tanah Jawi Wus pinasthi sayekti kula pisahan.

Sabdo Palon menghaturkan kata-kata agak keras, Hamba tidak mau, Memeluk agama Islam, Sebab hamba ini sesungguhnya, Raja Dahnyang ( Penguasa Gaib ) tanah Jawa, Memelihara kelestarian anak cucu ( penghuni tanah Jawa ), (Serta) semua Para Raja, Yang memerintah di tanah Jawa, Sudah menjadi suratan karma (wahai Sang Prabhu), kita harus berpisah.

4. Klawan Paduka sang Nata Wangsul maring sunya ruri Mung kula matur petungna Ing benjang sakpungkur mami Yen wus prapta kang wanci Jangkep gangsal atus taun Wit ing dinten punika Kula gantos agami Gama Budhi kula sebar ing tanah Jawa.

Dengan Paduka Wahai Sang Raja, Kembali ke Sunyaruri (Alam kosong tapi ber-'isi'; Alam yang tidak ada tapi ada), Hanya saja saya menghaturkan sebuah pesan agar Paduka menghitung, Kelak sepeninggal hamba, Apabila sudah datang waktunya, Genap lima ratus tahun, Mulai hari ini, Akan saya ganti agama (di Jawa), Agama Buddhi akan saya sebarkan ditanah Jawa.

5. Sinten tan purun nganggeya Yekti kula rusak sami Sun sajakken putu kula Berkasakan rupi-rupi Dereng lega kang ati Yen durung lebur atempur Kula damel pratandha Pratandha tembayan mami Hardi Merapi yen wus njeblug mili lahar.

Siapa saja yang tidak mau memakai, Akan saya hancurkan, Akan saya berikan kepada cucu saya sebagai tumbal, Makhluk halus berwarna-warni, Belum puas hati hamba, Apabila belum hancur lebur, Saya akan membuat pertanda, Pertanda sebagai janji serius saya, Gunung Merapi apabila sudah meletus mengeluarkan lahar.

6. Ngidul ngilen purugira Nggada banger ingkang warih Nggih punika wedal kula Wus nyebar agama budi Merapi janji mamai Anggereng jagad satuhu Karsanireng Jawata Sadaya gilir gumanti Boten kenging kalamunta kaowahan.

Kearah selatan barat mengalirnya, Berbau busuk air laharnya, Itulah waktunya, Sudah mulai menyebarkan agama Budhi, Merapi janji saya, Menggelegar seluruh jagad, Kehendak Tuhan, (Karena) segalanya (pasti akan) berganti, Tidak mungkin untuk dirubah lagi.

Note [Suchamda] : Agama Budhi bukan berarti semata agama Buddha, tetapi adalah AGAMA KESADARAN / ELING / HAKIKAT yang bisa meredam kemurkaan alam..

7. Sanget-sangeting sangsara Kang tuwuh ing tanah Jawi Sinengkalan tahunira Lawon Sapta Ngesthi Aji Upami nyabarang kali Prapteng tengah-tengahipun Kaline banjir bandhang Jeronne ngelebna jalmi Kathah sirna manungsa prapteng pralaya.

Sangat sangat sengsara, Yang hidup ditanah Jawa, Perlambang tahun kedatangannya, LAWON SAPTA NGESTI AJI ( LAWON ; 8, SAPTA ; 7, NGESTHI ; 9, AJI ; 1 = 1978), Seandainya menyeberangi sebuah sungai, Ketika masih berada ditengah-tengah, Banjir bandhang akan datang tiba-tiba, Tingginya air mampu menenggelamkan manusia, Banyak manusia sirna karena mati.


8. Bebaya ingkang tumeka Warata sa Tanah Jawi Ginawe kang paring gesang Tan kenging dipun singgahi Wit ing donya puniki Wonten ing sakwasanipun Sedaya pra Jawata Kinarya amertandhani Jagad iki yekti ana kang akarya.

Bahaya yang datang, Merata diseluruh tanah Jawa, Diciptakan oleh Yang Memberikan Hidup, Tidak bisa untuk ditolak, Sebab didunia ini, Dibawah kekuasaan, Tuhan dan Para Dewa, Sebagai bukti, Jagad ini ada yang menciptakan.

9. Warna-warna kang bebaya Angrusaken Tanah Jawi Sagung tiyang nambut karya Pamedal boten nyekapi Priyayi keh beranti Sudagar tuna sadarum Wong glidhik ora mingsra Wong tani ora nyukupi Pametune akeh sirna aneng wana.

Bermacam-macam mara bahaya, Merusak tanah Jawa, Semua yang bekerja, Hasilnya tidak mencukupi, Pejabat banyak yang lupa daratan, Pedagang mengalami kerugian, Yang berkelakuan jahat semakin banyak, Yang bertani tidak mengahasilkan apa-apa, Hasilnya banyak terbuang percuma dihutan.

10. Bumi ilang berkatira Ama kathah kang ndhatengi Kayu katahah ingkang ilang Cinolong dening sujanmi Pan risaknya nglangkungi Karana rebut rinebut Risak tataning janma Yen dalu grimis keh maling Yen rina-wa kathah tetiyang ambengal.

Bumi hilang berkahnya, Banyak hama mendatangi, Pepohonan banyakyang hilang, Dicuri manusia, Kerusakannya sangat parah, Sebab saling berebut, Rusak tatanan moral, Apabila malam hujan banyak pencuri, pabila siang banyak perampok.

11. Heru hara sakeh janma Rebutan ngupaya anggering praja Tan tahan perihing ati Katungka praptaneki Pageblug ingkang linangkung Lelara ngambra-ambara Warading saktanah Jawi Enjing sakit sorenya sampun pralaya.

Huru hara seluruh manusia, Berebut kekuasan kerajaan, Tidak tahan perdihnya hati, Disusul datangnya, Wabah yang sangat mengerikan, Penyakit berjangkit kemana-mana, Merata seluruh tanah Jawa, Pagi sakit sorenya mati.

12. Kesandhung wohing pralaya Kaselak banjir ngemasi Udan barat salah mangsa Angin gung nggegirisi Kayu gung brasta sami Tinempuhing angin agung Kathah rebah amblasah Lepen-lepen samya banjir Lamun tinon pan kados samodra bena.

Belum selesai wabah kematian, Ditambah banjir bandhang semakin menggenapi, Hujan besar salah waktu, Angin besar mengerikan, Pohon-poho besar bertumbangan, Disapu angin yang besar, Banyak yang roboh berserakan, Sungai-sungai banyak yang banjir, Apabila dilihat bagaikan lautan.

13. Alun minggah ing daratan Karya rusak tepis wiring Kang dumunung kering kanan Kajeng akeh ingkang keli Kang tumuwuh apinggir Samya kentir trusing laut Sela geng sami brasta Kabalebeg katut keli Gumalundhung gumludhug suwaranira.

Ombak naik kedaratan, Membuat rusak pesisir pantai, Yang berada dikiri kanannya, Pohon banyak yang hanyut, Yang tumbuh dipesisir, Hanyut ketengah lautan, Bebatuan besar hancur berantakan, Tersapu ikut hanyut, Bergemuruh nyaring suaranya.

14. Hardi agung-agung samya Huru-hara nggegirisi Gumleger swaranira Lahar wutah kanan kering Ambleber angelebi Nrajang wana lan desagung Manungsanya keh brasta Kebo sapi samya gusis Sirna gempang tan wonten mangga puliha.

Gunung berapi semua, Huru hara mengerikan, Menggelegar suaranya, Lahar tumpah kekanan dan kekirinya, Menenggelamkan, Menerejang hutan dan perkotaan, Manusia banyak yang tewas, Kerbau dan Sapi habis, Sirna hilang tak bisa dipulihkan lagi.

15. Lindhu ping pitu sedina Karya sisahing sujanmi Sitinipun samya nela Brekasakan kang ngelesi Anyeret sagung janmi Manungsa pating galuruh Kathah kang nandhang roga Warna-warna ingkang sakit Awis waras akeh klang prapteng pralaya.

Gempa bumi sehari tujuh kali, Membuat ketakutan manusia, Tanah banyak yang retak-retak, Makhluk halus yang ikut membantu amarah alam, menyeret semua manusia, Manusia menjerit-jerit, Banyak yang terkena penyakit, Bermacam-macam sakitnya, Jarang yang bisa sembuh malahan banyak yang menemui kematian.

16. Sabda Palon nulya mukswa Sakedhap boten kaeksi Wangsul ing jaman limunan Langkung ngungun Sri Bupati Njegreg tan bisa angling Ing manah langkung gegetun Kedhuwung lepatira Mupus karsaning Dewadi Kodrat iku sayekti tan kena owah.

Sabdo Palon kemudian menghilang, Sekejap mata tidak terlihat sudah, Kembali ke alam misteri, Sangat keheranan Sang Prabhu, Terpaku tidak bisa bergerak, Dalam hati merasa menyesal, Merasa telah berbuat salah, Akhirnya hanya bisa berserah kepada Tuhan, Janji yang telah terucapkan itu sesungguhnya tak akan bisa dirubah lagi.


(Diterjemahkan oleh : Damar Sashangka).







Sabdo Palon dan Naya Genggong adalah 'PENUNTUN GAIB YANG MEWUJUD'. Beliau berdua senantiasa hadir mengiringi Raja-Raja Jawa jaman Hindhu Buddha. Beliau berdua pergi meninggalkan tanah Jawa semenjak Keruntuhan Majapahit pada tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Terkenal dengan SURYA SANGKALA (KATA SANDHI PENANDA TAHUN KEJADIAN) yang sangat populer di Jawa, yaitu SIRNA ILANG KERTHANING BHUMI ( SIRNA : 0, ILANG : 0, KERTHA : 4, BHUMI : 1 = 1400 Saka). Kalimat KERTHAning BHUMI, diambil dari nama asli PRABHU BRAWIJAYA PAMUNGKAS (PAMUNGKAS=TERAKHIR), yaitu RADEN KERTHABHUMI.

Janji kedatangan Beliau berdua diucapkan di Blambangan, ketika Majapahit hancur diserang oleh pasukan Demak Bintara. Prabhu Brawijaya meloloskan diri ke arah Timur, hendak menyeberang ke Pulau Bali, namun masih bertahan sementara di Blambangan ( Banyuwangi sekarang).

Raden Patah, Pemimpin Demak Bintara, merasa bangga telah menghancurkan Majapahit yang dia anggap sebagai negara kafir. Serta merta, setelah mendengar kabar berhasil dikuasainya Majapahit oleh tentara Islam, Raden Patah datang dari Demak, ingin melihat langsung keadaan Majapahit yang berhasil dihancurkan. Setelah itu, dengan bangga beliau meneruskan perjalanannya ke Pesantren Ampeldhenta, hendak mengabarkan keberhasilan itu.

Namun ternyata, Nyi Ageng Ampel, istri almarhum Sunan Ampel, malah mempersalahkannya. Nyi Ageng Ampel mengingatkan bahwa dulu semasa Sunan Ampel masih hidup, beliau pernah berpesan bahwsanya jangan sekali-kali murid-murid beliau ikut campur masalah politik, atau malah berani merebut kekuasaan Majapahit. Bahkan Nyi Ageng dengan tegas menambahkan, Raden Patah telah berdosa tiga hal :


1.Kepada Guru, yaitu melanggar wasiat Sunan Ampel.

2.Kepada Ayah, karena Prabhu Brawijaya adalah ayah kandung Raden Patah.

3.Kepada Raja, karena Raja adalah Imam, tidak boleh dilawan tanpa alasan yang benar. Sebab, selama memerintah, Prabhu Brawijaya tidak pernah melarang penyebaran agama Islam, bahkan menghadiahkan tanah Ampeldhenta ( didaerah Surabaya sekarang ), sebagai tanah otonom. Diijinkan untuk dipakai sebagai basis pendidikan agama bagi orang-orang muslim.


Dengan sangat menyesal, Raden Patah meminta petunjuk, bagaimanakah cara untuk menghapus kesalahannya. Nyi Ageng menyarankan agar kedudukan Prabhu Brawijaya Pamungkas sebagai Raja harus dikembalikan. Namun yang menjadi masalah, kemanakah Sang Prabhu meloloskan diri? Nyi Ageng memperkirakan, Sang Prabhu pasti menuju ke Pulau Bali. Raden Patah berniat menyusul sendiri, namun dicegah Nyi Ageng Ampel, karena setelah kejadian penyerangan Majapahit oleh tentara Islam terjadi, maka, tidak akan ada satupun orang Islam yang akan dipercayai oleh Sang Prabhu. Tidak Raden Patah, tidak Nyi Ageng Ampel, tidak pula Para Wali yang lain, yang turut serta membantu penyerangan tersebut. Namun, hanya ada dua Wali yang mungkin masih beliau percayai, pertama Syeh Siti Jenar dan kedua Sunan Kalijaga. Karena kedua Wali ini terang-terangan menentang penyerangan pasukan Islam ke Majapahit.

Karena hubungan Raden Patah tidak begitu baik dengan Syeh Siti Jenar, maka dia meminta pertolongan Sunan Kalijaga untuk melacak keberadaan ramanda-nya. Dan jika ditemukan, dimohon dengan segala hormat untuk kembali ke Trowulan, ibukota Majapahit, untuk dikukuhkan lagi sebagai Raja. Sunan Kalijaga bersedia membantu, ditemani beberapa santri beliau langsung melakukan pencarian ke arah Timur.

Dan ternyata benar, di Blambangan, banyak umbul-umbul pasukan Majapahit serta para prajurid Majapahit yang siap tempur berkumpul disana. Dan benar pula, Prabhu Brawijaya masih ada disana, belum menyeberang ke Pulau Bali. Agak kesulitan Sunan Kalijaga memohon bertemu dengan Sang Prabhu. Namun karena Sang Prabhu tahu betul, Sunan Kalijaga, yang seringkali beliau panggil Sahid itu, menurut pasukan sandhi (intelejen) Majapahit , Sunan Kalijaga bersama pengikutnya,sama sekali tidak ikut dalam penyerangan ke Majapahit, maka Sunan Kalijaga dipersilahkannya menghadap, walau dengan kawalan ketat.

Disinilah dialog SERAT SABDO PALON terjadi. Sang Prabhu Brawijaya, ditemani Sabdo Palon dan Naya Genggong, dihadap oleh Sunan Kalijaga,beserta sesepuh Majapahit yang kebetulan bersama-sama Sang Prabhu hendak menuju Pulau Bali, menyusul beberapa masyarakat Jawa lainnya yang lebih dahulu melarikan diri kesana. Mendengar penuturan Sunan Kalijaga,Sang Prabhu luruh hatinya. Karena sejatinya, Sang Prabhu kini tengah menggalang kekuatan besar untuk merebut kembali tahta dari tentara Islam. Tidak bisa dibayangkan apabila itu terjadi, karena pendukung Sang Prabhu Brawijaya masih banyak tersebar diseluruh Nusantara.

Pertumpahan darah yang lebih besar pasti akan terjadi. Putra-putra Prabhu Brawijaya masih banyak yang berkuasa dan mempunyai kekuatan tentara yang besar, seperti Adipati Handayaningrat IV di Pegging, Lembu Peteng di Madura, Bondhan Kejawen di Tarub dan masih banyak lagi.

Sunan Kalijaga meminta, agar pertikaian dihentikan, dan sudilah kiranya Sang Prabhu kembali memegang tampuk pemerintahan. Prabhu Brawijaya menolak, karena jikalau itu terjadi, maka beliau akan merasa terhina oleh putra selirnya sediri, Raden Patah, yang lahir dari putri China Eng-Kian dan dibesarkan di Palembang dalam asuhan Adipati Arya Damar atau Swan Liong. Bagaimana tidak, seorang ayah harus menerima tahta dari anaknya sendiri, memalukan. Ketika perundingan menemui jalan buntu, maka Sunan Kalijaga mengusulkan agar beliau dengan kebesaran jiwa, mau memeluk Islam. Dengan demikian, seluruh pendukung beliau pasti akan meninggalkan beliau satu persatu, dan pertumpahan darah yang lebih besar lagi akan terhindar.

Mendengar akan hal itu, Prabhu Brawijaya tercenung, untuk menghindari peperangan lebih besar, setidaknya, usulan Sunan Kalijaga memang masuk akal. Demi perdamaian, Sang Prabhu mengesampingkan ego-nya. Maka PENUH dengan kebesaran hati, beliau menyatakan MASUK ISLAM. Terkejut seluruh yang hadir, termasuk Sabdo Palon dan Naya Genggong. Hingga, terlontarlah sebuah janji seperti tercantum pada SERAT SABDO PALON diatas.

Sepeninggal Sabdo Palon dan Naya Genggong, Sang Prabhu-pun bersedia kembali ke Trowulan, namun bukan hendak kembali memduduki tahta, akan tetapi mendamaikan seluruh kerabat Majapahit agar merelakan tahta dipegang oleh Raden Patah. Dalam perjalanan pulang inilah, Sunan Kalijaga meminta bukti ketulusan Sang Prabhu dalam memeluk Islam. Sunan Kalijaga memohon untuk memotong rambut panjang Sang Prabhu. Dengan sebilah keris, setelah diijinkan, Sunan Kalijaga memotong rambut beliau. Tapi ternyata, tidak satu helai-pun terpotong. Sekali lagi, Sunan Kalijaga meminta keikhlasan Sang Prabhu memeluk Islam, dan sekali lagi Sunan Kalijaga memotong rambut beliau. Kali ini, terpotong sudah. Namun, Sunan Kalijaga belum puas, menjelang berangkat kembali ke Trowulan, Sunan Kalijaga mengambil air comberan yang berbau tidak sedap dimasukkan kedalam sebilah bambu. Dihadapan Sang Prabhu, beliau menyatakan, bahwasanya apabila air comberan ini sesampainya di Trowulan airnya berubah tidak berbau busuk, nyata sudahlah Sang Prabhu telah lahr bathin masuk Islam.

Berangkatlah rombongan itu ke Trowulan,sesampainya di Trowulan, disambut dengan suka cita oleh masyarakat Trowulan. Air dalam bilah bambu dicurahkan oleh Sunan Kalijaga, dan ternyata, bau busuknya hilang, bahkan airnya berubah jernih. Untuk mengingat kejadian itu, Blambangan diubah namanya menjadi BANYUWANGI hingga sekarang. Tidak berapa lama di Trowulan, Sang Prabhu jatuh sakit. Putra-putranya datang berkumpul, melalui Sunan Kalijaga, beliau mengamanatkan agar menghentikan pertumpahan darah Hindhu-Buddha dengan Islam. Biarkanlah Raden Patah bertahta sebagai Raja di Jawa walau sebenarnya, keturunan dari Pengging-lah yang lebih berhak.

Menjelang akhir hayat beliau, beliau berpesan agar diatas pusara makam beliau jangan diberi tanda bahwasanya beliau adalah Prabhu Brawijaya, Raja Majapahit terakhir, namun tandailah dengan nama Putri Champa Anarawati, permaisuri beliau. Sebab beliau merasa diperhinakan sebagaimana wanita oleh putraya sendiri. Dan penghinaan itu didukung oleh permaisurinya sendiri, Dewi Anarawati, putri Champa yang beragama Islam. Dewi Anarawati inilah bibi Sunan Ampel. Dewi Anarawati-lah yang menyarankan agar Sang Prabhu memberikan Ampeldenta kepada Sunan Ampel untuk didirikan sebuah Pesantren Islam.

Maka jangan heran, apabila di Trowulan, tidak diketemukan makam Prabhu Brawijaya, melainkan Putri Champa. Padahal makam Putri Champa yang asli berada di Gresik. Begitu Majapahit diserang pasukan Islam, beliau diungsikan ke Gresik hingga beliau wafat.

(Damar Shashangka).

Alam Nusantara akan melakukan penyeleksian total. Mana manusia yang Kesadarannya mampu selaras dengan Alam Nusantara, dan mana manusia yang Kesadarannya tidak dibutuhkan oleh Alam Nusantara.

1 Comments:

Wanita Perkasa Di Balik Kejayaan Majapahit, Gayatri Raja Patni

April 19, 2019 DPN 0 Comments

Adalah watak Rajapatni Gayatri yang agung, sehingga mereka menjelma pemimpin besar sedunia, yang tiada tandingannya. Putri, menantu, dan cucunya menjadi raja dan ratu. Dialah yang menjadikan mereka penguasa dan mengawasi semua tindak tanduk mereka (Negarakrtagama, Bab 48) 

Cuplikan dari kitab Negarakrtagama inilah yang dipilih menjadi pembuka kisah hidup tentang Gayatri Rajapatni yang ditulis oleh mantan duta besar Kanada untuk Indonesia, Earl Drake. Siapa dan bagaimana peranan Gayatri Rajapatni dalam sejarah perjalanan kerajaan Majapahit hingga mencapai masa gemilangnya diungkap dengan gaya bahasa ringan dalam buku ini. Sebenarnya siapa itu Gayatri Rajapatni?
Gayatri Rajapatni, Perempuan di Balik Kejayaan Majapahit 


Tugas seorang bermoral adalah mengenali suatu tujuan yang mulia dan setia pada tujuan tersebut.
(Gayatri Rajapatni)

Arak-arakan menyambut Pangeran Wijaya dan pasukannya memasuki batas kota, mereka disambut oleh para menteri Jayakatwang dan diantarkan ke Daha, ibukota Kediri. Sementara itu di bangsal perempuan Keraton Kediri, Gayatri yang mendengar kedatangan Pangeran Wijaya untuk menyerahkan diri; penasaran dengan rencana apa yang akan dilakukan oleh kakak iparnya. Ia menerobos kerumunan warga di bibir jalan dan berdiri di deretan depan menunggu lewatnya perarakan.

Pangeran Wijaya yang tampan melangkah gagah, mengedarkan pandangan menyapu ke segala penjuru hingga hinggap pada sepasang mata belia yang juga sedang memandanginya. Mata mereka beradu sepersekian detik hadirkan seulas senyum di bibir Pangeran Wijaya, kini ia yakin adik iparnya Putri Gayatri selamat dari pertikaian di Singhasari. Tanpa mereka sadari, sebuah harapan diam-diam terajut di antara dua hati. Harapan yang bangkitkan gairah seiring datangnya sebuah pesan yang disampaikan pengawal Pangeran Wijaya dan menggetarkan sanubari Gayatri seperti yang dituliskan kembali dalam buku hariannya:

“Katakan kepada Putri agar jangan putus asa. Kakak sulungnya selamat dan kini tinggal di penampungan sementara kami di Madura. Kita harus tetap tenang sampai bisa kembali membangun kekuatan dan merebut kembali kerajaan. Untuk saat ini, biarkan Putri Gayatri, tinggal di sini sampai kami bisa menyelamatkan dan membawanya ke pangkuan sang Pangeran”

Penyerangan oleh Kerajaan Kediri

Asa perlahan bersemi dalam diri Gayatri untuk membangun kembali cita-cita sang ayahanda mewujudkan sebuah kerajaan pemersatu Nusantara. Dyah Dewi Gayatri Kumara Rajassa, putri bungsu dari empat orang anak perempuan Krtanagara, Raja Agung Singhasari. Gayatri yang dekat dengan sang ayah, sejak usia lima belas tahun menaruh minat yang tinggi pada tata negara, hukum, agama, teater dan yoga; sehingga sering menjadi teman diskusi raja membahas kelangsungan negara. Gayatri selamat dari penyerangan besar-besaran yang dilakukan oleh pasukan Jayakatwang dari Kerajaan Kediri ke Singhasari pada 1292 yang menewaskan ayahanda dan ibundanya. Kakak sulungnya Tribhuwana, istri dari Pangeran Wijaya kabur dari istana menyusul suaminya ke medan laga sedang dua kakaknya yang lain Mahadewi istri Pangeran Ardaraja putera Jayakatwang dan Jayendradewi dijadikan sandera dan dibawa ke Kediri.

Ketika istana Singhasari diserang oleh pasukan Kediri, Gayatri sedang asik belajar di kamar belakang sehingga luput dari pembantaian. Untuk menyamarkan dirinya Gayatri berganti nama menjadi Ratna Sutawan, menanggalkan baju kebesaran istana dan berpura-pura menjadi puteri pegawai rendahan keraton. Bersama Sodrakara pengasuhnya, mereka ikut diboyong ke Kediri menjadi tawanan dan ditempatkan di bangsal perempuan Keraton Kediri. Sebelum meninggalkan istana, ia meminta ijin kepada Sodrakara agar diantarkan melihat jasad orang tuanya untuk memberi sembah terakhirnya.

Ia raih tangan ayahnya yang dingin dan bersumpah akan mengabdikan diri untuk mengenangnya dan merawat apa yang telah diwariskannya. Sejenak kepedihan yang dalam menguasai dirinya, setelah itu ketakutan. Bagaimana ia bisa bertahan hidup seorang diri?

Gelar Rajapatni

Sejak pertemuannya kembali dengan Pangeran Wijaya, mereka menyusun rencana untuk membangun kembali sebuah dinasti baru dengan seorang pemimpin baru yang tetap mengusung visi Krtanagara untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan di Jawa lewat pertemuan rahasia di Daha, Kediri. Di hutan Tarik, Pangeran Wijaya mulai menyusun strategi dan membangun basis Majapahit dengan bantuan sekutunya dari Madura. Mereka mempersiapkan penyerangan ke Kediri dengan bersekutu dengan pasukan Cina Mongol yang mendarat di Jawa pada 28 Maret 1293. Kediri akhirnya ditaklukkan pada 29 April 1293, Gayatri pun diselamatkan oleh Wijaya dan dibawa ke Majapahit. Beberapa minggu setelah dinobatkan menjadi raja Majapahit, Wijaya yang bergelar Krtarajasa Jayawardhana mempersunting Gayatri dan menganugerahinya gelar Rajapatni, Pendamping Raja.

Suasana negeri perlahan menjadi kondusif, Wijaya dan Gayatri bahu membahu membangun kerajaan baru Majapahit yang wilayahnya meliputi Kediri, Madura, Singhasari dengan ibukota Majapahit. Perhatian mereka tertuju pada kesejahteraan rakyat, memulihkan hubungan kebudayaan dan ekonomi dengan negeri jiran seperti India dan Cina. Gayatri yang cerdas nan bijaksana, menjadi penasihat dan pendamping raja yang senantiasa memberikan pandangan baru kepada Wijaya.

Gayatri atau Rajapatni, adalah yang termuda dan tercantik diantara mereka, laksana mutiara cemerlang yang menarik cinta dan simpati semua orang. Hubungannya dengan sang raja laksana Uma dan dewa Shiwa. Ia melahirkan dua puteri, yang tak lain adalah muara kebahagiaan.

Naiknya Jayanegara, Pangeran yang Tidak Dilahirkan Oleh Seorang Ratu

Sayang kebahagiaan mereka tak bertahan lama, awan duka menyelimuti Majapahit. Wijaya mendadak menghadap sang Budha di usia 46 tahun karena penyakit tumor ganas yang menyerangnya. Karena ketiadaan putera dari Gayatri, sebagai pengganti Wijaya, Jayanagara puteranya dari Dara Petek, puteri Melayu yang tak pernah diakui sebagai ratu diangkat menjadi raja. Jayanegara yang masih muda, berusia 16 tahun dengan watak yang keras memerintah tanpa memperhatikan aspirasi rakyatnya. Selama pemerintahan Jayanagara terjadi banyak pemberontakan, namun berhasil ditumpasnya dengan tangan besi dan terjun langsung ke medan perang. Pada masa pemerintahannya Jayanagara membentuk pengawal elit istana dimana salah seorang perwira seniornya berasal dari rakyat biasa. Karena jasanya dalam menumpas pemberontakan di kalangan istana, Gadjah Mada sang perwira senior ini mendapat kepercayaan raja dan karirnya pun menanjak tajam.

Gayatri yang pandai membaca karakter, mamahami bahwa kapasitas intelektual seseorang lebih penting untuk dinilai daripada asal-usul kelas sosialnya. Di mata Gayatri, Gadjah Mada yang cerdas dan menaruh minat pada seni pemerintahan; membuatnya terkesan. Tanpa sepengetahuan raja, diam-diam Gayatri mendekati Gadjah Mada, membuatnya merasa nyaman untuk menjalin komunikasi dengannya dan kedua putrinya. Gayatri terpanggil untuk menempa dan membimbing Gadjah Mada yang dikuasai jiwa muda yang menggebu-gebu. Perlahan Gayatri mulai mengendalikan dan menyusupkan doktrin ideologi serta kebijakannya ke dalam diri perwira muda yang gagah berani dengan pendekatan kekeluargaan tanpa disadari oleh Gadjah Mada.

Peran Sang Rajapatni yang Melahirkan Kerajaan Terbesar Di Jawa

Hubungan yang tidak harmonis antara Gayatri dan Jayanagara kian meruncing saat Jayanagara memaksa ingin menikahi dua adik tirinya, putri Gayatri dan Wijaya. Gayatri menggunakan pengaruhnya dan bersekongkol dengan Gadjah Mada untuk mengenyahkan Jayanagara. Dengan memanfaatkan konflik dan selisih paham yang terjadi diantara penghuni istana, Gadjah Mada mengatur siasat untuk menghilangkan raja tanpa menggunakan tangannya. Sebuah kebijakan yang sebenarnya memberatkan hati Gayatri yang sempat dibayangi rasa bersalah, namun harus dilakukan. Lewat sebuah operasi tumor yang gagal, Jayanagara dihabisi oleh sahabatnya Tancha ahli bedah yang tersulut emosinya karena berita perselingkuhan raja dengan istrinya yang disampaikan oleh Gadjah Mada.

Sudah menjadi kehendak Rajapatni yang agung bahwa mereka harus menjadi pemimpin besar dunia, yang tiada tandingan. Puteri, menantu dan cucunya menjadi raja dan ratu. Dialah yang menjadikan mereka penguasa dan mengawasi semua tindak-tanduk mereka.
Silsilah Singhasari, Rajapatni

Sepeninggal Jayanagara, Gayatri mengangkat putrinya Tribhuwana menjadi penguasa Majapahit. Darinya lahir putera mahkota Hayam Wuruk, lelaki pertama penguasa Singhasari dan Majapahit setelah kakeknya Krtanagara. Seiring dengan pergeseran singgasana, Gadjah Mada pun diangkat menjadi Mahapati Majapahit. Berkat kepiawaian Gadjah Mada yang menjadi utusan Majapahit dalam bernegosiasi, Bali pun berhasil melebur ke dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Menjelang usia senja, ada kekhawatiran Gayatri dengan sikap keras kepala, agresif dan ketidaksabaran yang menggebu-gebut dalam diri sang Mahapatih bila tak ada yang bisa meredam dan mengimbanginya, terlebih jika dirinya telah tiada.

Sebelum tutup usia, Gayatri telah memikirkan langkah-langkah apa yang perlu dipersiapkan demi kelanjutan pemerintahan di Majapahit. Kepada putrinya Tribhuwana dan Gadjah Mada dia menyarankan untuk membentuk dewan penasihat baru bagi putera mahkota, pemimpin masa depan. Mengusulkan kepada kedua putri dan menantunya untuk membentuk dewan keluarga yang akan membimbing dan membantu Hayam Wuruk memahami seluk beluk kehormatan dinasti. Menyarankan Gadjah Mada untuk pensiun sebagai Mahapati saat Hayam Wuruk berusia 21 tahun dan memintanya membantu mencari dan membina calon penerus yang cakap dalam periode lima tahun mendatang.

Gayatri Rajapatni, Perempuan di Balik Kejayaan Majapahit, sebuah novel sejarah Majapahit yang dituturkan dengan bahasa yang mudah dimengerti dan tak membosankan karya Prof. Earl Drake, mantan Duta Besar Kanada untuk Indonesia (1982-1983). Gayatri Rajapatni, perempuan ningrat yang bersahaja dan rendah hati yang lebih banyak berada di belakang layar. Namanya tak banyak diangkat sehingga kurang bahkan tak dikenal dalam catatan perjalanan sejarah bangsa ini. Dialah pemberi inspirasi, penasehat dan guru spiritual bagi para pemimpin Majapahit. Dan dari tangannyalah lahir para pemimpin Majapahit yang tangguh.

Gayatri meninggal dengan tenang pada 1350 di usia 76 tahun sejalan dengan rencananya, di saat sang putri Tribhuwana turun dari singgasana dan menyerahkan kekuasaan kepada putera mahkota Hayam Wuruk.

Jiwaku kini tentram, aku bahagia menyaksikan negeri tercinta memasuki era perdamaian, kemakmuran dan pesatnya kebudayaan. Tapi janganlah terlena dengan keberlimpahan masa kini sehingga mengabaikan tugas dan tanggung jawab rohani. Mereka yang bergelimang kemewahan mungkin bakal lupa bahwa dunia yang mereka tempati adalah fana dan senantiasa dirongrong pertarungan antara “pengawal kebajikan” dan “utusan iblis”….Aku mendoakan agar para penguasa sanggup menjadi teladan yang arif dengan menyebarkan welas kasih untuk semua makhluk dan mendorong pengkhayatan akan nilai-nilai abadi.

Kejayaan Majapahit berakhir pada 1389 seiring perebutan kekuasaan pasca kematian Hayam Wuruk karena ketiadaan penerus tahta yang jelas.


[Sumber]

0 Comments:

Ratusan Pramuka Saka Wira Kartika Uji Nyali di Lereng Gunung Klotok

April 05, 2019 DPN 0 Comments



Keterangan Foto : Kegiatan Pramuka Saka Kartika saat Kemah di Lereng Gunung Klotok Kediri - Jatim.(Rianto)



Kediri, Damarpanuluhnusantara.com  - Ratusan Saka Wira Kartika yang ada di Kediri, berkumpul di lapangan Kelurahan Sukorame, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri. Berkumpulnya mereka, tidak lain untuk mengikuti "Kemah Bakti" yang diselenggarakan Kodim 0809/Kediri, Jumat (5/4/2019).

Dari catatan Pasi Ter Kodim Kediri Kapten Inf Warsito, tercatat ada 138 orang yang mengikuti kegiatan tersebut. Mereka berasal dari berbagai sekolah, yaitu SMK PGRI 1 dan 2, SMA Al Huda, SMK Pawyatan Dhaha, SMK Grogol 1, SMK Hang Tuah dan SMAN 3 Kota Kediri.

"Dari catatan saya ada 138 yang ikut. Anak-anak kita ini dibagi 12 regu, ada yang 1 regu 11 anak, ada yang 1 regu 12 anak," kata Kapten Inf Warsito.

Salah satu kegiatan kemah bakti yang ini cukup menarik adalah jurit malam. Kegiatan yang mengundang rasa was-was bagi seluruh peserta, menjadi pembeda antara keberanian dengan ketakutan. 

Pikiran dan perasaan bagi mereka yang ketakutan, dipastikan campur aduk dengan sesuatu yang berbau mistis atau supranatural. Tentunya, berbagai pikiran dan perasaan tertuju pada berbagai gambaran atau wujud makhluk astral yang biasa muncul di tayangan layar kaca atau lebar.

Dijelaskan Kapten Inf Tafsir selaku penanggungjawab kegiatan tersebut, seluruh peserta akan menempuh perjalanan sejauh sekitar 4 kilometer. Lokasi jurit malam ini berada seputaran Punden Sukorame hingga lereng Gunung Klotok.

"Ada 12 tantangan selama 4 kilometer perjalanan. 12 tantangan ini dibagi 2, yang berwujud ada 8, yang tidak berwujud atau suara ada 4," jelasnya.

8 tantangan, dikatakan Kapten Inf Tafsir, ada wujud pocong, kuntilanak, genderuwo, tuyul dan sundelbolong. Tantangan tersebut disebar dengan jarak yang berbeda-beda.

Rendi, salah satu peserta yang berdomisili di Desa Ngasem, Kecamatan Ngasem, mengaku ada perasaan takut lantaran kegiatan ini dilakukan malam hari. 

Berbeda dengan Sahputra, peserta yang berdomisili di Desa Puhrubuh, Kecamatan Semen, menyatakan siap melewati berbagai tantangan di jurit malam ini, apalagi ia sudah terbiasa mengikuti kegiatan serupa.

Terkait pengamanan peserta jurit malam, dijelaskan Kapten Inf Tafsir, pihak penyelenggara sudah menempatkan 16 anggota Kodim Kediri di titik-titik tertentu, guna memastikan keselamatan peserta. Penempatan itu memang sengaja dilakukan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.

Selain tim pengamanan, ada tim kesehatan yang selalu standbay bila ada peserta yang mengalami drop fisik. Tim kesehatan ini disebar di 3 titik yang berbeda sepanjang rute perjalanan jurit malam tersebut. (nto)

Reporter : Rianto 

Keterangan Foto : Kegiatan Kemah Saka Wira Kartika di Lereng Gunung Klotok Kediri 
(Rianto)

0 Comments:

Rolak 70 Gude, Saksi Sejarah Kualitas Bangunan Kolonial

April 04, 2019 DPN 0 Comments


KEDIRI,DAMARPANULUHNUSANTARA.COM -  Rolak 70 Gude adalah sebuah bendungan yang di bangun masa pemerintahan kolonial belanda,bedungan ini berada di aliran lahar dingin gunung kelud Kediri. Memang saat ini kondisi bangunan peninggalan pemerintah kolonial belanda itu sudah mulai mengalami kerusakan. Namun begitu melihat masih kokohnya struktur bangunan menunjukkan betapa kualitas bangunan pada zaman itu sangatlah bagus.

Konon, bendungan rolak 70 gude ini digunakan sebagai irigasi untuk mengairi areal persawahan masyarakat dan warga tionghoa yang kala itu menanam tebu. Beragam cerita masyarakat munculnya pabrik gula di wilayah Kabupaten Jombang karena etnis tionghoa kala itu banyak yang menanam tebu.

Akan tetapi ada pula sumber yang menyebutkan jika Rolak 70 Gude sebelumnya pernah dibangun pada abad IX oleh Mpu Sendok, namun jebol dan Jobang tenggelam pada tahun 998 Masehi zaman Raja Dharmawangsa Tegun paman Raja Airlangga saudara ibu Airlangga Mahendra Datta Istri Raja Udayana Raja Bali. 
Rolak 70 adalah sebutan sebuah kawasan bekas bendungan Sungai Konto yang saat ini sebagian wilayahnya masuk wilayah Kabupaten Jombang. Bendungan Rolak 70 dibangun pada jaman penjajahan Belanda untuk mengaliri perkebunan tebu di wilayah Kecamatan Gudo Jombang.
Pada era penjajahan Belanda, Rolak 70 merupakan bendungan terbesar di Sungai Konto. Dari pintu air sebanyak 70 buah itu, mengalir irigasi ke berbagai penjuru. Belakangan, karena debit air Sungai Konto yang terus mengecil, aliran sungai tidak sampai di bendungan. Jadilah Rolak 70 mangkrak.
Bagi masyarakat Jombang mungkin jarang mendengar tentang bendungan ini. Nama Rolak 70 sendiri diambil dari jumlah menara penggerek pintu air yang berjumlah tujuh puluh. Bendungan yang memiliki ketinggian sekitar dua meter dari permukaan air tersebut dibangun untuk mengaliri perkebunan tebu di wilayah Kecamatan Gudo kala itu.
Rolak 70 merupakan bendungan terbesar di Sungai Konto dan mengalir sebagai irigasi keberbagai penjuru wilayah perkebunan. Dasar utama pembangunan bendungan ini adalah untuk mengatur debit air agar dapat mengaliri sungai dengan baik.(rianto /har) 

0 Comments: